Kasarung Linglung di Gunung | CRJ Eps 36
Kerumunan pohon berlumut menyadarkan kami bahwa tempat itu pernah dilalui sebelumya, disitu mulai sadar bahwa ternyata kami hanya terus berputar di tempat itu, "Bukannya tadi kita berteduh dan makan di bahwa pohon ini?" Dadan bertanya dengan nada heran kepada kami, Dadan merupakan salahsatu teman yang ikut dalam acara naik gunung kala itu, dia merupakan seorang pribadi kalem namun kental dengan kepercayaan akan mistis. "Sok Tahu ente, ini hanya kebetulan mirif saja" Jawab Dinar sambil mengepalkan tangannya ke depan wajah Dadan dengan ekspresi menyepelekan, saya hanya terdiam sambil tertawa melihat kelakukan Dinar yang memang agak tengil, namun dalam hati saya memang berpikir bahwa pohon itu memang pernah dilalui hampir 3 kali sebelumnya, dan masih terlihat tanda jejak kaki yang sama dengan bentuk sol sepatu saya, ditambah ada sisa makan yang jelas jelas masih ingat itu adalah sisa makan saya, namun tak banyak bicara karena memang situasi agak kacau.
Perjalanan mendaki Gunung memang biasa kami lakukan di waktu liburan semester Kuliah, dengan jumlah teman yang memiliki kecintaan yang sama terhadap pendakian gunung menjadikan kami dan teman membuat tim naik gunung sebanyak 5 orang (termasuk saya), sebut saja saya Didi Pria paling keren diantara ke 5 teman, meskipun kadang jarang berbicara namun saya memiliki selera humor tinggi dan selalu berfiki sebelum bertindak, Kemudian Dadan yang kami sebut sebagai engkun (dukun), nama panggilan tersebut karena memang setiap perkataannya selalu dikaitkan dengan hal mistis, sipatnya yang kalem membuat kesan aura mistisnya semakin kental, Keseruan tim kami dilengkapi dengan Dinar, seorang yaang suka becanda, jahil namun kadang tengil keterlaluan yang sering mengganggu Asep salahsatu teman kami pendiam dan pemalu, perbedaan watak kami kadang dilerai oleh Edi yang memiliki jiwa pemimpin dan kadang berkata sok bijak.
Menginjak liburan semester 2, kami bersama teman membuat rencana akan mengadakan sebuah pendakian Gunung Cakra Buana, rencanaya akan naik dari sebuah desa menyusuri bukit yang tujuannya ke Puncak gunung Cakra Buana, tak tanggung tanggung kami merencanakan tidak akan membawa peralatan camping, meskipun perjalanan di rencanakan selama 1 hari satu malam namun kita sepakat tanpa membawa alat camping, alat masak, yang kita bawa hanya garam, beras, korek, rokok dan pisau. Ide nyeleneh ini awalnya di utarakan oleh Dinar dengan tujuan mendapatkan kesan pendakian bersama teman yang tak akan dilupakan, "Kita masak nasi menggunakan bambu, tidur kita buat saung dari bahan alam, jika ente gak mau Sep udah jangan ikut, nanti malah nangis". Kata Dinar sambil tertawa Penuh percaya diri mengejek Asep.
Rencana akan bermalam di Gunung tanpa membawa bekal cukup ahirnya disetujui oleh semua teman, lokasi lereng gunung yang jaraknya agak jauh dari perkampungan membuat kami harus berjalan kaki, kendaraan kita simpan di rumah ketua RT Kampung setempat, dengan tak sabar kita semua ingin merasakan sensasi hidup di alam tanpa peralatan memadai, selama perjalanan kami ngobrol kesana kemari sambil tertawa terbahak-bahak sampai terhenti mmendengar sapaan dari sseorang kakek yang kebeulan berpapasan di jalan setapak, "Bade Kamarana de (Mau pada kemana de)?"Kata Kakek yang usianya kami perkirakan 70 tahun lebih karena melihat kondisinya, "Nanjak ki (Naik gunung kek)" jawab Edi sambilmenyodorkan tangan ngajak salaman, "ati ati, ulah ngobrol sompral bisi linglung (Hati-hati jangan bicara kasar nanti kesasar)" Kakek berkata sambil melanjutkan perjalanannya, Kami ber lima saling tatap dan kemudian melanjutkan perjalanan,"Aki-aki pahang sok tau hahaha (Kakek-kakek pahit yang sok tahu hahaha)" kata Dinar sambil tertawa.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 10.00 WIB, berarti kita berjalan hampir 3 jam karena berangkat dari Rumah Pak Rt tadi Pukul 07.00, dan sebetulnya perjalanan sudah memasuki area pegunungan, namun nama tempatnya apa, kami tidak tahu, yang menjadi patokan adalah perkataan Edi yang dulu pernah melakukan perjalanan, dia tahu jalan menuju Cakra Buana. Meskipun merencanakan hal ekstrim namun perbekalan nasi timbel kami bawa untuk sekedar porsi secukupya satu kali makan, setelah merasa lelah perjalanan kami putuskan untuk istirahat dulu sejenak sambil menghabiskan nasi timbel agar tidak terlalu berat juga membawanya, "Meng, dahar heula yu, lapar euy (Meng, makan dulu yu, lapar nih)!" Kata Dinar sambil mendahului duduk di bawah pohon besar penuh lumut yang akarnya terlihat menonjol di atas tanah, Meng (Cimeng) adalah nama panggilan kami kepada Edi, " hayu, atuh sarua urangge lapar da, komo si Asepmah ges pias" (Ayo, saya juga sama lapar banget, apalagi Asep sudah pucat)" Jawab Edi sambil menatap wajah Asep yang terlihat pucat kecapean.
Perut mulai keroncongan akibat bangun pagi dan langsung persiapan berangkat yang membuat kami tak sempan sarapan, akhirnya kami putuskan istirahat makan sebelum melanjutkan perjalanan, perbincangan hangat serta candaan has bersama temanpun terlontar sambil makan, nasi dengan bungkus daun pisang ditambah lalapan has gunung yang kami petik langsung selama perjalanan menjadikan acara makan terasa sangat nikmat, suasana seketika mendadak sepi tanpa ada yang bicara, rasa lapar dan cape menjadikan semunya terdiam menikmati santapan seadanya, namun keheningan itu tak lama ketika Dinar mengeluarkan celotehan has nya yang kadang ngobrol seenak jidatnya, "Pasti seru nih kalo udah nyampai lokasi, petualangan yang tak akan terlupakan, bagusnya lama nginepnya biar merasakan pengalaman bertualang seperti pramuka asli" kata Dinar sambil mengangkat tanganya seolah memperagakan ucapannya, aku bilang "Ya seru tapi mungkin cape dan rindu rumah, jam segini belum sampai, jam berapa sampainya?", "nyasab boa nya ( Jangan jangan kita nyasar?)" Kata Dinar sambil pasang wajah menjengkelakan, "Moal da Edi tau jalan ( Ngga lah kan Edi tahu jalannya)" jawab saya, "Bodo amat nyasabge malah tambah rame lewih lila berpetualang Hahahaha ( Bodo amat nyasar juga, akan semakin seru perjalanan hahahaha)" Jawab Dinar sambil mengunyah makanan yang sesekali keluar nasi dari mulutnya.
Perbincanganpun semakin melebar dari obrolan awal sampai ahirnya semuanya selesai makan, sambil menikmati sebatang rokok, seperti biasanya setiap kami berkumpul dan tanpa obrolan, selalu dimulai pembukaan ngobrol oleh Dinar.
"Kun, kunaon maneh ngahuleng wae titadi? (Kun, kenapa kamu gak banyak ngomong dari tadi)?" Ucap Dinar sambil melempar ranting kecil ke arah Dadan."Biasa keur ngimpleng si etamah, hahaha (Biasa lagi menerawang dia, hahaha)" Jawab saya mendahului sebelum Dadan berkata, sedangkaan Dadan dari tadi hanya terlihat celingukan ke atas pohon kadang kesamping sambil sesekali pegang kening seolah pusing mau muntah, sedangkan Edi dan Asep dari tadi hanya terlihat asyik ngobrol berdua, entah apa yang mereka bicarakan. "Maneh ngobrol ulah sompral di leuweung kie Dinar! (kamu kalo ngomong di gunung jangan kasar Dinar)" Dadan berkata denan wajah serius, "Sompral kumaha ? (Kasar bagaimana)?" Jawab Dinar seolah tak mau kalah, "Tadi maneh ngomong bae nyasabge, ulah kitu, ayeuna gara gara maneh ngobrol kitu aya nu nempokeun dina tangkal (tadi kamu bilang, gak apa apak nyasar juga, jadinya sekarang ada yang memperhatikan kita dari atas pohon)" Kata Dadan, Perkataan Dadan membuat Edi dan Asep langsung menghampiri "Hayu ah ari geus beresmah wang mangkat deui (kalo udah bersea kita lanjutkan perjalanan)" kata Edi sambil menggendong perekalan miliknya, seolah tak mau melanjutkan obrolan berkepanjangan.
Akhirnya kita beres-beres membersihkan sisa makan dan persiapan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba semuanya dikagetkan dengan suara dari atas pohon seperti suara angin kencang yang akan menyambar ke bawah "BBBRRRRRRRRRHHHHHHGGGG" sontak saja suara tersebut membuat kaget semua dan tanpa berunding semuanya melihat ke atas,dalam hati saya masih teringat ucapan Dadan tadi, ya semoga saja bukan mahluk aneh yang Dadan biang sedang memperhatikan kita, dengan penuh rasa penasaran campur takut saya tengok ke atas ternyata ada dahan kayu jatuh yang menimpa dedaunan namun tak sampai ke bawah karena tersangkut, dahan kayu besar jatuh sehingga menimbulkan suara gaduh, lega rasanya ketika melihat cuma dahan kayu, namun tetap saja meskipun mulut tertawa, sebisa mungkin saya pasang wajah tegar agar tak terlihat panik, "Itu peringatan awal" kata Dadan," Jadi nu nempokeunteh kai buruk?, dasar tahayul (Jadi yang memperhatikan kita dahan kayu busuk?, dasar tahayul)" Jawab Dinar sambil mendahului melangkah tanda agar kita semua berangkat lagi, "Serius Dinar manehteh, karasa ku urang aya hawa tiis jeung beurat kana sirah ( Serius Lho Dinar, aku merasakan ada hawa dingin dan terasa berat kepala)" Jawab Dadan sambil sesekali memegang kening, "Nya heeh tiis da di gunung, bener te di? (ya iyalah dingin, inikan pegunungan, iya kan di?)" Dinar menjawb lagi sambil bertanya dan menoleh ke saya, "Hahahaha" Saya hanya tertawa tak menjawabnya, dengan harapan obrolan mereka disudahi, karena jujur saya mulai kepikiran dengan ucapan Dadan, biasanya dia kalo bilang mual, pusing dan ada aura dingin tandanya ada yang ngikutinnya.
Perjalanan lancar-lancar saja namun entah karena obrolan tadi menjadikan kita semua berjalan tanpa ada yang bicara, hanya Dinar yang mulutnya tak bisa diam, kalo tidak bicara, dia pasti bernyanyi yang gak jelas apa yang dia nyanyikan, kadang bersiul dan kadang mengagetkan teman dengan menakut nakuti, kebetulan saya berada di urutan paling belakang setelah Dadan yang berada di depan saya, sambil berjalan mata saya terus memperhatikan sekeliling dan sesekali melihat punggung Dadan, jujur sebetulnya sudah malas melanjutkan perjalanan setalah tadi Dadan bilang ada yang memperhatikan, "Ngobrol atuh da wauh (Ngobrol dong kan saling kenal)" Saya berkata mencoba megubah situasi dan keadaan, "Heeh manehteh ngobrol Asep, kawas ngarerepeh wae ti tadi, cek urangge montong nggilu manehmah bisi ceureik haha (Ya, ngobrol dong Asep, dari tadi gak bicara, Aku bilang juga kamu gaak usah ikut nanti malah nangis, haha)" Dinar membalas omongan saya, seperti biasa dia paling awal kalo masalah ngobrol selalu nyaut duluan, saya dan Dinar memang agak sEdikit serasi dalam massalah becanda, dan selalu Asep atau Dadan yang kita jadikan bahan candaan, "Stttt, ulah garandeng, fokuswe leumpang soalna masih nuturkeun" (Sttt, jangan berisik, fokus aja jalan karena masih ada yang ngikutin)" Dadan yang dari tadi diam ahirnya bicara juga, "pangpung lain nu nuturkeuna di (kayu busuk bukan yaang ngikutin kita di)" Jawab Dinar sambil bertanya ke pada saya, "heeh, teuing kalangkang mereun hahaha (iya, gak tau itu bayangan kita hahaha)" jawab saya sambil tertawa, namun dalam hati saya mulai membaca beberapa suroh Al-Qur'an ayat pendek yang saya bisa.
"Saruana manehmah Dinar jeung si Didi, sabelas duabelas (Kalian berdua sama Dinar dan Didi, 11 12)" Edi berkata setelah lama dia hanya terdiam dan memimpin perjalanan, "Da dua jalema etamah biangkerok (ya emang kedua orang tersebut emang suka bikin masalah)" tambah Asep yang berkata dengan nada menyerang kepada saya dan Dinar, "Njir maneh sugan ges beak batre, geuning aya keneh ( Njir, kamu, kirain kehabisan baterai, ternyata masih ada)" Jawab saya, "Nar si Asep hirup keneh geuning? (Nar, Asep masih bernyawa ternyata)" saya menyambung ucapan dan meminta pendapat Dinar, "Sieuneun Di si etamah matak te kecet-kecet, tempo gera calanan baseuh, lain kesang etateh, tapi ngompol hahahaha (Takut dia di makanya gak bersuara, coba kamu lihat celananya basah, itu bukan keringat tapi kencing hahahaha)" Jawab Dinar seolah ada dukungan dari saya untuk memojokan Asep, langkah kita terhenti karenaa Edi yang berada paling depan seketika menghentikan langkah perjalanan, " Aya naon meng, naha ereun (ada apa meng, kenapa berhenti)" Saya bertanya kepada Edi, "Buntu jalana, dan kumaha ieu? (jalannya buntu, dan ini bagaimana?)" jawab Cimeng sambil bertanya kepada Dadan, Sebelum dandan menjawab saya dan Dinar langsung pergi kedepan dan melihat kondisi jalan yang ternyata memang buntu, di depan terhalang semak belukar, entah sudah lama tidak ada yang lewat atau memag ada pohon tumbang yang kemudian ditumbuhi banyak tanaman yang menghalangi jalan.
"Ceuk aingge ulah sompral ngomong, da maranehmah dasar biangkerok (Saya bilang jangan sembarangan ngobrol, emang kalian ya biang masalah)" Dadan berkata yang ditujukan kepada saya dan Dinar, wajahnya tampak serius mengucapkan kata kata tersebut, saya dan Dinar hanya bisa saling tatap dan kemudian tertawa "Hahahahahaha", "Di, urang di carekan euy ku si engkun (di kita dimarahi oleh engkun)" jawab Dinar setelah kami selesai tertawa, "da maranehmah di bejaanteh sok tara percaya, kalah ngaledek (emang dasar kalian kalo di kasih tahu malah meledek dan gak percaya)" Kata Dadan dengan wajah kesal, sebetulnya saya sih setengah percaya dan tidak namun karena situasinya seperti ini ya di sembunyiin aja pura pura gak percaya, meskipun hati agak takut karena dari tadi berada di posisi paling belakang, "Di, neangan tagkal nu bisa di taekan tempo jalana kamana?, ke wang norobos (Di, coba kamu cari pohon yang bisa dipanjat, lalu kami naik dan lihat kedepan jalannya menuju kemana)" Kata Edi memberikan perintah kepada saya, " Siap bos, laksanakan, hayu nar (siap bos laksanakan, ayo Dinar)" Jawab saya sambil berjalan ke arah pohon kecil disamping jalan, tak banyak cakap saya langsung manjat dan melihat situasi sekitar, namun karena posisi di banyak pohon besar ditambah semak belukar yang tebal mejadikan saya tak menemukan jalan tembusannya, "Euweuh menk euy te katempo, pinuh ku tangkal jeung rungkun (gak ada meng, tak terlihat, penuh pohon dan semak jadi gak kelihatan)" Saya berkata kepada Edi sambil turun dari pohon, "Dan, kumaha ieu? filling kamu kamana ieu jalana? ( Dan ini bagaimana? perkiraan kamu jalannya kemana?)" Edi bertanya kepada Dadan, "Noroboswe ka katuhu meng (nerobos aja ke kanan menk)" Jawab Dadan sambil menunjuk ke samping jalan.
Akhirnya tanpa bicara lagi Edi langsung mengambil pisau satu satunya yang kami bawa dan mengambil sebatang ranting pohon kecil untuk dijadikan sebagai alat pembuat jalan baru ke semak belukar, perjalanan kami agak sEdikit terhambat dan menjadi telat karena memang harus menerobos semak dan mencari jalan tembusannya, sambil memukul mukul semak belukar saya mendengar suara burung atau apa yang jelas saya berfikirnya malah ke ucapan Dadan tentang mahluk yang menikuti kita, semakin dalam kita menembus semak suasana malah semakin mencekam, entah hanya perasaan saya atau memang demikian, rasanya semakin gelisah dan tak hentinya saya membaca do'a yang saya bisa sambil terus tengok kanan kiri, "Dan ieu nyasab teu? (Dan, ini nyar ga?)" Saya berbisik kepada Dadan, "Sttt, tuturkeunwe ulah loba ngomong (Sttt, ikuti aja jangan banyak bicara)" Jawab Dadan sambil meletakan telunjuknya di bibir, saya pun terdiam dan tak bertanya lagi, karena kelihatannya dia serius agar saya tak berulah lagi, "Huuhhhh, jalan coy aya jalan (Huuhhhh, jalan ini coy ada jalan)" Tiba-tiba cimenk atau Edi berkata dengan nada senang penuh kegirangan, "Mantap pak ketu' Jawab saya dengan penuh rasa gembira, "Cemenk tea atuh (Siapa dulu dong Cimeng)" Tambah Dinar memuji Edi.
Lega rasanya sudah ada di jalan setapak yang membuat kami bisa melanjutkaan perjalanan, seperti biasa perjalanan kami diiringi nyanyian tak enak di dengar dari Dinar sambil sesekali berteriak dan ngelantur kesana kemari, namun tidak ada yang menjawab dan saya pun gak merespon ucapannnya, entah perasaan saja atau emang iya karena saya rasa tempat itu sudah saya lalui hampir 3 kali, saya masih ingat dimana tadi siang makan di bawah pohon, namun saya anggap ini hanya perasaan saja dan tak banyak cakap hanya mengikuti perjalanan saja, rasa senang menemukan kembali jalan tak berlangsung lama karena tiba tiba Edi menghentikan lagi jalanya, Aya naon deui meng (Ada apa lagi meng?)" Tanya saya kepada Edi yang berdiri sambil menatap ke sebuah pohon. {{Nyambung dulu ke paragrap pertama}} "Bukannya tadi kita berteduh dan makan di bahwa pohon ini" Dadan berkata dengan nada heran kepada kami, Dadan merupakan salahsatu teman yang ikut dalam acara naik gunung kala itu, dia merupakan seorang pribadi kalem namun kental dengan kepercayaan akan mistis. "Sok Tahu ente, ini hanya kebetulan mirif saja" Jawab Dinar sambil mengepalkan tangannya ke depan wajah Dadan dengan ekspresi menyepelekan, saya hanya terdiam sambil tertawa melihat kelakukan Dinar yang memang agak tengil, namun dalam hati saya memang berpikir bahwa pohon itu memang pernah dilalui hampir 3 kali sebelumnya, dan masih terlihat tanda jejak kaki yang sama dengan bentuk sol sepatu saya, ditambah ada sisa makan yang jelas jelas masih ingat itu adalah sisa makan saya, namun tak banyak bicara karena memang situasi agak kacau.
Semuanya terdiam sambil melihat lihat sekeliling, dan dalam hati saya sangat yakin kalo ternyata dari tadi kita hanya berputar putar di tempat yang sama tanpa ada kemajuan perjalanan, "Kumaha ieu dan? jaba geus sore euy, baheula ge tidieu ka Gunung Cakra buana teh 5 jam deui (Bagaimanaa ini dan? Mana udah sore lagi, dulu juga dari sini ke cakra buana masih 5 jam lagi)" Edi memulai pembicaraan karena memang dari tadi kita tanpa rencana berhenti malah tEdiam tanpa banyak bicara sambil memperhatikan sekeliling, "Kumaha atuh, piraku ek balik deuimah (Gimana dong, masa mau balik lagi)" Jawab Dadan sambil menatap ke atas pohon yang membuat saya semakin tambah takut, "Lain kitu dan, pan apal sorangan tadige jalana teu kapanggih, lamun balik deui bisi nguriling kawas tadi (Bukan begitu dan, tahu sendiri kan jalannya gak ketemu, kalo kita pulang lagi takutnya akan berputar seperti tadi)" Jawab Cimeng memberikan kejelasan maksud perkataannya tadi, Dadan hanya diam tak menjawab, dan semuanya tampak terdiam, bahkan Dinarpun tak ikut ngobrol saya lihat dia sedang membersihkan sepatunya yang penuh tanah. " Kumaha di? mending kumaha ieu, lanjut atawa balik? (Bagaimana di? bagusnya gimana, lanjut atau kita pulang?) Kata Edi memberikan pertanyaan kepada saya, "Nar kumaha? (Nar bagaimana)?" Jawab sya dengan memberikan pertanyaan juga kepada Dinar, "Lanjuuttttt" Jawab Dinar dengan wajah polos, Edi tak menjawab ucapan Dinar, dia langsung terduduk sambil terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Waktu menunjukan jam 16-00 dan jika mendengar ucapan Edi tadi yang katanya jarak ke Tujuan masih sekitar 5 Jam lagi, berarti kalo lancar sekalipun kita akan tiba disana sekitar pukul 21-00, itu kalau lancar, saya berfikir jika kita melanjutkan hanya akan kemalaman di jalan belum membuat tempat bernang, belum persiapan masak karena tanpa membawa alat masak, dalam hati saya lebih cenderung ingin pulang lagi namun ya karena jika kembali ke jalan sebelumnya bisa sangat lama untuk sampai di kampung, belum lagi teringat ucapan Edi yang katanya bagaimana kalo pulang lagi dan nyasar lagi, ya jadinya saya hanya terdiam saja. "Beuki loba nu nempokeun (Tambah banyak yang memperhatikan)" Tiba tiba Dadan berkata tanpa ekspresi, "Lah manehmah hayuhwe kadinya ti tadi (Lah kamu, dari tadi itu mulu yang di bicarakan)" Jawab Dinar yang dari tadi diam saja, "Maneh kudu ngarasa hanyakal tadi ngomong sompral (kamu harus merasa menyesal telah bicara kasar)" Jawab Dadan serius kepada Dinar, "Heeh hampura aing pangpung, lah naon wae nu nempokeun hampuranya, engges tah aing hanyakal, terus kumaha (Ya udah maafin saya kayu busuk, apa aja yang memperhatikan kita saaya minta maaf, udah tuh aku menyesal, terus bagaimana)?" Jawab Dinar yang kelihatannya tak serius hanya ungkapan rasa kesal aja karena Dadan terus mengungkit masalah ucapannya.
"Ayeunamah kieu we, kumaha lamun wang balik wae dan cumah dilanjutge bakal kapeutingan di jalan (Sekarang gini aja, bagaimana kalo kita pulang saja, percuma di lanjut juga karena akan kemalaman di jalan)" Ucap Edi memberikan tawaran solusi dan sekaligus merupakan keputusannya, "Terserah sih" jawab saya singkat, seolah tak peduli, namun sebenarnya dalam hati sangat mengharapkan seseorang mengajak kita semua pulang saja, "Nya bener, balikwe, tapi jalana wang neangan solokan, nuturkeun solokan kege bakal nepi ka lembur, bari nganterkeun tamu nu sejen (Ya betul, kita pulang aja, tapi kita cari selokan dan ikuti sampai ke perkampungan, sambil mengantar tamu lain)" Tambah Dadan myang tandanya mendukung ucapan Edi, "Nya hayu atuh malingpingwe kahandap neangan solokan (Ya ayo cepat kita cari lembah cari selokan)" Jawab Edi sambil berdiri tanda kita akan mulai bergerak, saya berikir ucapan Dadan tentang mengantar tamu lain, dalam hati saya berfikir nganter siapa, apa mungkin nganterin yang sedang memperhatikan kita, pastinya dia bermaksud demikian namun saya tak banyak tanya dan Dinarpun dari tadi tak banyak bicara mungkin lelah atau sama takut juga dia, ahirnya kita melanjutkan perjalanan menuju pulang dengan menuju ke posisi palng rendah Gunung dengan harapan akan menemukan selokan atau saluran air yang memang biasanya akan mengarak ke pemukiman.
Sementara kami berjalan, Asep yang jarang bicara tiba tiba tertawa "Hahhahaha", kaget bukan main dan sontak semuanya berhenti dan menatap ke wajah Asep, jarang jarang lho dia tertawa terbahak-bahak, ini lagi secara tiba tiba langsung tertawa, "Kunaon (kenapa)?" Tanya Asep kepada kami yang bengong, "Maneh kunaon ujug ujug seuri (kamu kenapa, tiba-tiba tertawa)?" Jawab Dinar heran, "Lucu we, ari dilembur sumenget ari ges kiaeu laleuleus harayang balik (Lucu aja, taadi di kampung semangat, alo udah kejadian begini semuanya ingin pulang)" Jawab Asep mengejek kepada kami, "Ah Kuya batok, suganteh aya naon aing kat reuwas (Ah dasar kura-kura, kirain ada apa, bikin kaget aja)" Jawab Dinar, lega rasanya dan perjalanan spontan berlanjut setelah mendengar jawaban Asep, dalam hati saya berfikir Asep kesurupan, karena ya aneh saja orang pendiam yang kami ketahui jarang bicara kecuali di tanya tiba-tiba tertawa, sukurlah bukan apa-apa gumam saya dalam hati, kami pun melanjutkan menuruni gunung yang kadang sangat terjal dan sesekali terhalang semak belukar, "Di tah hareupen maneh tempo (di itu lihat di depan kamu)" Kata Dinar kepada saya yang mebuat saya kaget dengan ucapannya, langsung saya melihat kedepan dan berkata "Naon (apa)" Jawab saya sambil dag dig dug, "Eta panah dina tangkal (itu tanda panah di pohon)" jawab Dinar sambil menunjuk ke sebuah panah yang menempel di pohon, "Ohhh" Jawab saya lega sambil melihat gambar panah yang menempel di pohon, kirain ada apa, kebiasaan ngagetin.
Semuanya sponan berkumpul dan melihat tanda panah dari plat kaleng yang menempel di pohon, disitu ada tulisan HIMPA yang merupakan singkatan himpunan mahasiswa pecinta alam, tanpa ada kata-kata lainnya hanya tulisan HIMPA disertai tanda panah, senang bingung dan gak jelas deh rasanya, disisi lain senang ada tanda panah menunjuk ke bawah, disisi lain bingung menuju kemana dan apa artinya panah tersebut, ya mending kalo menunjuk ke jalan pulang, kalo panahnya menunjuk ke lokasi aneh lainya kan bagaimana,, namun sEdikit lega setelah Edi berkata "Ini tanda anak HIMPA melakukan pendakian, dan biasnaya ini tanda mereka pulang dengan menympan jejak" Kata Edi dengan penuh keyakinan, namun tetap saja dalam hati masih mengganjal karena meskipun ada tanda panah, namun kami tak melihat jalan setapak yang bisa dilalui, dari tadi kita hanya menyusuri nerobos semak belukar dan bukit saja, "Nya teruswe kahandap (ya lanjutkan terus ke bawah)" Jawab Dadan kepada Edi, langsung kita semua melanjutkan pejalanan yang semakin lama saya baru sadar ternyata sudah hampir jam 18-00 dan suasana mulai tampak akan gelap, "Nar, mana tadi kalakai pines, wang duruk jieun obor (Nar, mana tadi kayu pinus, kita bakar untuk penerangan)" Kata saya kepada Dinar, Kalakai pinus adalah kayu sisa kerokan sadap getah pinus yang kami kumpulkan selama perjalanan tadi pagi, kayu pinus yang mudah terbakar dengan getahnya menjadikan kami sengaja mengumpulkannya untuk bahan memudahkan membuat peerangan jika meninap, "Aya ieu, eureun heula meng sakedeung wang nyieun obor, tereh poek euy (Berhenti dulu meng sebentar, kita buat obor karena hampir gelap)" Kata Dinar kepada Edi untuk meminta berhenti sejenak, kami pun berhenti dan menyusun kayu pinus agar nyaman dipegang untuk penerangan jalan.
Setelah semuanya memegang masing-masing obor buatan dari kayu pinus ahirnya kita melanjutkan perjalanan, saya sendiri membawa cadangan serpihan kayu pinus dalam tas agar sewaktu waktu yang dipegang habis bisa menyalakan kembali, tak terasa haripun sudah mulai gelap, sempat berpikir dalam hati andai saja bawa senter atau handpon bisa lah dijadikan alat penerangan, namun karena memang kita sepakat gak bawa bayak peralatan dan hanya akan mengandalkan alam untuk bermalam dan bertahan, ya sudahlah terima aja begini, saya penasaran ingin bertanya kepada Dadan, apakah masih ada yang mengikuti atau tidak, belum tamat saya berfikr demikian tiba tiba Dadan berkata kepada saya seolah dia tau apa yang saya pikirkan, "Saeutik dei di (SEdikit lagi di)" Kata Dadan, saya kaget karenaa sedang berfikir ingin menanyakan, tiba-tiba dia bilang sEdikit lagi, saya berfikir sEdikit lagi kita mengantar mahluk yang mengikuti atau bagaimana, lalu Dinar balik bertanya kepada Dadan "naon sauetik deui (apanya yang sEdikit lagi)?" Tanya Dinar kepada Dadan, "Saeutik deiu nepi ka solokan, soalna geus karasa taneuhna beda, jeung jukutna geus jukut cai (sEdikit lagi nyampai di selokan, kaarena sudah beda tanahnya, dan rumput tanaman sekitar sudah menandakan semakin dekat ke selokan)" Jawab Dadan, haduh lega rasanya, kirain apa sEdikit lagi, otak saya dari tadi selalu berpikir tentang mahluk yang mengikuti.
Tak lama kemudian ternyata benar yang dikatakan Dadan, ahirnya kita menemukan sebuah selokan, dari kejauhan terdengar samar-samar suara air mengalir, dalam kegelapan hutan ditemani cahaya obor darurat akhirnyaa kita samperin sumber suara air tersebut, dan iya ternyata kita berhasil menemukan sebuah selokan kecil, karena haus saya langsung mengeluarkan botol minuman yang sudah habis dan mengisinya lalu mulai minum air yang terasa sangat dingin di tenggorokan seolah meminum air dari kulkas, semuanya spontan meniru apa yang saya lakukan dan mengisi kempis air, "Nar tereh nepi nar (nar hampir sampai nar)" kata saya kepada Dinar dengan nada penuh semangat seolah beberapa langkah lagi kita sampai rumah, padahal itu baru menemukan selokan saja, entah berapa jauh jarak selokan tersebut sampai bisa ke perkampungan, entah bagaimana medan selokan yang akan kita lalui, namun saya dengan begitu juga sudah merasa sangat lega sampai tiba tiba Dadan berkata "Mariheulaan euy, tereh nepi (Mendahului, hampir sampai) Kata Dadan, Jawabannya membuat otak saya selalu berfikir ke arah mahluk halus, "Saha nu miheulaan? (siapa yang mendahului)" Tanya saya kepada Dadan, "Nyai jeung uwok nu di luhur miheulaan (Nyai dan uwok yang di atas tadi mendahului)" jawab Dadan Santay, E busyet saya langsung terdiam dan semuanya juga tak ada yang bicara, kalo Dadan bilang Nyai jeng uwok biasanya dia menyebut kepada sosok Kuntilanak dan uwok sebutan dia kepada sosok genderuo dengan bahasa dia, sumpeh bulu kuduk terasa dingin semua, dan sialnya dia berkata di posisi kita semua sedang berada di aliran sungai kecil.
"Gandeng dan ulah loba nyarita (diam dan, jangan banyak ngomong)" Kata Cimeng kepada Dadan, seolah dia melerai situasi agar kita tak takut dengan apa yang Dadan ucapkan, ya meskipun demikian tetap saja suasana hati saya jelas gak karuan, sebagai laki-laki rasanya sangat malu mengakui bahwa saya takut, sebisa mungkin wajah pucat saya sembunyikan dari hadapan teman-teman, karena memang diantara teman-teman, saya dan Dinar termasuk orang yang paling usil, jahil dan suka bikin ulah. Tak mudah rasanya harus berjalan di kegelapan yang hanya di temani cahaya remang-remang dari obor darurat, jalanan di pinggir selokan kecil yang penuh dengan tmbuhan has basah menjadikan perjalanan kami sEdikit agak lambat, belum lagi dengan terus dihinggapi rasa takut seolah terperosok ke dalam air selokanpun bayangan saya memikirkan takut ada mahluk yang menarik dari dalam air, entah saking takutnya yang saya rasakan saat itu, namun jika melihat teman-teman juga semuanya terdiam tanpa banyak bicara, ditambah perut yang sudah terasa sangat lapar, kaki mulai terasa pegal membuat perjalanan ingin segera berakhir dan segera sampai di rumah.
Selama menempuh perjalanan, kita semua lebih banyak terdiam tanpa banyak bicara satu sama lain seolah-olah semuanya sudah merasakan jenuh akibat kelamaan berjalan dengan kondisi badan sudah mulai lelah, wajar saja seharian berjalan ditambah belum makan sejak siang tadi, keheniningan malam di gunung sangat terasa, aliran air selokan ditambah suara suara binatang malam menambah suasana semakin mencekam, setelah lama berjalan menyusuri aliran sungai akhirnya kami dihentikan oleh suara gemuruh air yang sangat keras, seperti hujan atau ada ombak di laut, pokonya suara sangat keras terdengar air mengalir, di situasi seperti itu Dadan mulai berbicara "Sudah sampai, ini rumahnya" Ucapanya membuat saya kembali teringat akan mahluk yang ia ceritain tadi, namun di sisi lain saya senang jika memang iya sudah sampai di rumahnyaa yang artinya tidak akan mengikuti kita lagi, ucapan Dadan tak ada yang menaggapi, kita semua kemudian dibuat bingung dengan suara keras deras air, lalu kita putuskan untuk berhenti sejenak dan mendengarkan dengan jelas suara apa sebenarnya.
"Eta pasti curug (Itu pasti air terjun)" Dinar berkata dengan nada penuh percaya diri, "Bisa jadi, kahade ah poek bisi tigorobos murag (bisa jadi, hati-hati, jangan sampai kita terperosok jatuh)" Jawab Edi membenarkan ucapan Dinar, "Kumaha Atuh? Belahmana curugna, bisi labuh (Bagaimana dong? Air terjunnya sebelah mana, takutnya kita da yang jatuh)" Sambung saya memperingati teman teman, "Tempo kahareup fokus, itu ngolowong tandana eta gawir curug ( Coba fokus lihat kedepan, disana taak nampak ada pohon, yang tandanya air terjun disana)" Jawab Dinar, yang memang agak cerdas juga dia, meskipun kadang menyebalkan, "nyieun obor nu rada gede meh caang (buat obor yang lebih besar biar semakin terang)" Kata Edi, sambil duduk membuka tas dan mengeluarkaan serpihan kayu pinus, setelah membuat obor agak besar dan keadaaan sEdikit terang ahirnya kami melanjutkan perjalanan mengitari area air terjun agar bisa sampai di dasar, Alahamdulillah lancar tanpa kendala sampai semuanya selamat berada di dasar selokan kecil dimana air jatuh dari atas.
Saya bernafas lega, karena bisa juga sampai di bawah, di benak saya masih tetap terbayangkan ketika tadi menuruni tepi air terjun dan membayangkan rumah tua berdiri di tengah air terjun yang semuanya dipenuhi mahluk yang sedang melihat dan menertawakan kita semua, mungkin karena kebanyakan nonton film horor sehingga bayangan saya selalu begitu selama turun di tepi air terjun, suasana mula berubah "Hahaha di salamet di (hahaha di selamat kita di)" Kata Dinar sambil tertawa dan menyapa saya seatelah selama perjalanan tadi dia ta banyak bicara airnya watak aslinya keluar lagi, "Iya coy, rumah coy rumah" Jawab saya kepada Dinar, suasana mualai terasa kondusif lagi, seolah melupakan rasa lapar dan lelah dengan harapan bisa cepat sampai di rumah, ketika sedang asik becanda sambil jalan kami dikejutkan dengan suara anjing yang menggonggong dari balik pepohoan, sontak semuanya kaget namun lagi-lagi Dinar mulai bicara "pasti nu keur moro babi, salamet euy panggih jeung batur (Pasti itu yang sedang berburu babi hutan, selamat juga bisa bertemu orang orang)" kata Dinar, "Nya mudah mudahan (ya semoga saja)" jawab Edi, saya merasa sangat lega meskipun belum sampai kampung namun setidaknya bisa bertemu orang dan bisa ikut jalan pulang.
Semuanya semangat dan mencari sumber suara anjing menggnggong, rumput semak belukar yang tingi dan konsisi gelap tak menjadikan semangat kami runtuh, justru semuanya tambah semangat dengan setengah berlari kita cari sumber suara tersebut yang semakin dekat terasa, lalu kami di kejutkan dengan cahaya api dari sebuah api unggun dan tanpa banyak berfikir kita berlari ke asal api unggun berada, ternyaa benar saja disana ada sekelompok orang yang sedang duduk menghadap api unggun yang terlihat ada wadah kastrol artinya mereka sedang menanak nasi liwet, biasanya saya takut jika bertemu dengan anjing namun enatah bagaimana tiba tiba waktu itu saya tak menghirauka keeradaan anjing dan fokus menghampiri kerumunan orang tersebut, panjang lebar kita bicara sampai kita ceritakan semua kejadian tadi, Orang-orangnya sangat ramah mereka berbagi makanan dengan kita, dan menyarankan ikut dulu disini nanti pulangnya sama-sama.
Lega rasanya bisa bertemu sama orang orang di gunung, ketika saya bertanya ternyata mereka adalah Orang dari daerah Cikadu (Sebuah Kampung yan berada di Kec Pagerageung Tasikmalaya), antara senang dan kaget karena Kampung tersebut lokasinya sangat jauh dari tempat dimana kita menympan motor sebelum berangkat, namun ya tidak apa-apa yang penting bisa menuju perkampungan dan bisa menginap dimana saja yang penting sudah di perkampungan, masalah puang mengambil kendaraan kita pikirkan lagi besok. Pengalaman seharian tadi membuat saya pribadi berfikir, ternyata jangan menyepelekan hal-hal yang tidak kita percaya, kita kan percaya setelah merasakannya sendiri.
Judul : Kasarung Linglung di Gunung | CRJ Eps 36
Original Konten : https://cerita-rakyat-jelata.blogspot.com/
Cerita : Fiksi , Penulis Desoel
Perjalanan mendaki Gunung memang biasa kami lakukan di waktu liburan semester Kuliah, dengan jumlah teman yang memiliki kecintaan yang sama terhadap pendakian gunung menjadikan kami dan teman membuat tim naik gunung sebanyak 5 orang (termasuk saya), sebut saja saya Didi Pria paling keren diantara ke 5 teman, meskipun kadang jarang berbicara namun saya memiliki selera humor tinggi dan selalu berfiki sebelum bertindak, Kemudian Dadan yang kami sebut sebagai engkun (dukun), nama panggilan tersebut karena memang setiap perkataannya selalu dikaitkan dengan hal mistis, sipatnya yang kalem membuat kesan aura mistisnya semakin kental, Keseruan tim kami dilengkapi dengan Dinar, seorang yaang suka becanda, jahil namun kadang tengil keterlaluan yang sering mengganggu Asep salahsatu teman kami pendiam dan pemalu, perbedaan watak kami kadang dilerai oleh Edi yang memiliki jiwa pemimpin dan kadang berkata sok bijak.
Menginjak liburan semester 2, kami bersama teman membuat rencana akan mengadakan sebuah pendakian Gunung Cakra Buana, rencanaya akan naik dari sebuah desa menyusuri bukit yang tujuannya ke Puncak gunung Cakra Buana, tak tanggung tanggung kami merencanakan tidak akan membawa peralatan camping, meskipun perjalanan di rencanakan selama 1 hari satu malam namun kita sepakat tanpa membawa alat camping, alat masak, yang kita bawa hanya garam, beras, korek, rokok dan pisau. Ide nyeleneh ini awalnya di utarakan oleh Dinar dengan tujuan mendapatkan kesan pendakian bersama teman yang tak akan dilupakan, "Kita masak nasi menggunakan bambu, tidur kita buat saung dari bahan alam, jika ente gak mau Sep udah jangan ikut, nanti malah nangis". Kata Dinar sambil tertawa Penuh percaya diri mengejek Asep.
Rencana akan bermalam di Gunung tanpa membawa bekal cukup ahirnya disetujui oleh semua teman, lokasi lereng gunung yang jaraknya agak jauh dari perkampungan membuat kami harus berjalan kaki, kendaraan kita simpan di rumah ketua RT Kampung setempat, dengan tak sabar kita semua ingin merasakan sensasi hidup di alam tanpa peralatan memadai, selama perjalanan kami ngobrol kesana kemari sambil tertawa terbahak-bahak sampai terhenti mmendengar sapaan dari sseorang kakek yang kebeulan berpapasan di jalan setapak, "Bade Kamarana de (Mau pada kemana de)?"Kata Kakek yang usianya kami perkirakan 70 tahun lebih karena melihat kondisinya, "Nanjak ki (Naik gunung kek)" jawab Edi sambilmenyodorkan tangan ngajak salaman, "ati ati, ulah ngobrol sompral bisi linglung (Hati-hati jangan bicara kasar nanti kesasar)" Kakek berkata sambil melanjutkan perjalanannya, Kami ber lima saling tatap dan kemudian melanjutkan perjalanan,"Aki-aki pahang sok tau hahaha (Kakek-kakek pahit yang sok tahu hahaha)" kata Dinar sambil tertawa.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 10.00 WIB, berarti kita berjalan hampir 3 jam karena berangkat dari Rumah Pak Rt tadi Pukul 07.00, dan sebetulnya perjalanan sudah memasuki area pegunungan, namun nama tempatnya apa, kami tidak tahu, yang menjadi patokan adalah perkataan Edi yang dulu pernah melakukan perjalanan, dia tahu jalan menuju Cakra Buana. Meskipun merencanakan hal ekstrim namun perbekalan nasi timbel kami bawa untuk sekedar porsi secukupya satu kali makan, setelah merasa lelah perjalanan kami putuskan untuk istirahat dulu sejenak sambil menghabiskan nasi timbel agar tidak terlalu berat juga membawanya, "Meng, dahar heula yu, lapar euy (Meng, makan dulu yu, lapar nih)!" Kata Dinar sambil mendahului duduk di bawah pohon besar penuh lumut yang akarnya terlihat menonjol di atas tanah, Meng (Cimeng) adalah nama panggilan kami kepada Edi, " hayu, atuh sarua urangge lapar da, komo si Asepmah ges pias" (Ayo, saya juga sama lapar banget, apalagi Asep sudah pucat)" Jawab Edi sambil menatap wajah Asep yang terlihat pucat kecapean.
Perut mulai keroncongan akibat bangun pagi dan langsung persiapan berangkat yang membuat kami tak sempan sarapan, akhirnya kami putuskan istirahat makan sebelum melanjutkan perjalanan, perbincangan hangat serta candaan has bersama temanpun terlontar sambil makan, nasi dengan bungkus daun pisang ditambah lalapan has gunung yang kami petik langsung selama perjalanan menjadikan acara makan terasa sangat nikmat, suasana seketika mendadak sepi tanpa ada yang bicara, rasa lapar dan cape menjadikan semunya terdiam menikmati santapan seadanya, namun keheningan itu tak lama ketika Dinar mengeluarkan celotehan has nya yang kadang ngobrol seenak jidatnya, "Pasti seru nih kalo udah nyampai lokasi, petualangan yang tak akan terlupakan, bagusnya lama nginepnya biar merasakan pengalaman bertualang seperti pramuka asli" kata Dinar sambil mengangkat tanganya seolah memperagakan ucapannya, aku bilang "Ya seru tapi mungkin cape dan rindu rumah, jam segini belum sampai, jam berapa sampainya?", "nyasab boa nya ( Jangan jangan kita nyasar?)" Kata Dinar sambil pasang wajah menjengkelakan, "Moal da Edi tau jalan ( Ngga lah kan Edi tahu jalannya)" jawab saya, "Bodo amat nyasabge malah tambah rame lewih lila berpetualang Hahahaha ( Bodo amat nyasar juga, akan semakin seru perjalanan hahahaha)" Jawab Dinar sambil mengunyah makanan yang sesekali keluar nasi dari mulutnya.
Perbincanganpun semakin melebar dari obrolan awal sampai ahirnya semuanya selesai makan, sambil menikmati sebatang rokok, seperti biasanya setiap kami berkumpul dan tanpa obrolan, selalu dimulai pembukaan ngobrol oleh Dinar.
"Kun, kunaon maneh ngahuleng wae titadi? (Kun, kenapa kamu gak banyak ngomong dari tadi)?" Ucap Dinar sambil melempar ranting kecil ke arah Dadan."Biasa keur ngimpleng si etamah, hahaha (Biasa lagi menerawang dia, hahaha)" Jawab saya mendahului sebelum Dadan berkata, sedangkaan Dadan dari tadi hanya terlihat celingukan ke atas pohon kadang kesamping sambil sesekali pegang kening seolah pusing mau muntah, sedangkan Edi dan Asep dari tadi hanya terlihat asyik ngobrol berdua, entah apa yang mereka bicarakan. "Maneh ngobrol ulah sompral di leuweung kie Dinar! (kamu kalo ngomong di gunung jangan kasar Dinar)" Dadan berkata denan wajah serius, "Sompral kumaha ? (Kasar bagaimana)?" Jawab Dinar seolah tak mau kalah, "Tadi maneh ngomong bae nyasabge, ulah kitu, ayeuna gara gara maneh ngobrol kitu aya nu nempokeun dina tangkal (tadi kamu bilang, gak apa apak nyasar juga, jadinya sekarang ada yang memperhatikan kita dari atas pohon)" Kata Dadan, Perkataan Dadan membuat Edi dan Asep langsung menghampiri "Hayu ah ari geus beresmah wang mangkat deui (kalo udah bersea kita lanjutkan perjalanan)" kata Edi sambil menggendong perekalan miliknya, seolah tak mau melanjutkan obrolan berkepanjangan.
Akhirnya kita beres-beres membersihkan sisa makan dan persiapan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba semuanya dikagetkan dengan suara dari atas pohon seperti suara angin kencang yang akan menyambar ke bawah "BBBRRRRRRRRRHHHHHHGGGG" sontak saja suara tersebut membuat kaget semua dan tanpa berunding semuanya melihat ke atas,dalam hati saya masih teringat ucapan Dadan tadi, ya semoga saja bukan mahluk aneh yang Dadan biang sedang memperhatikan kita, dengan penuh rasa penasaran campur takut saya tengok ke atas ternyata ada dahan kayu jatuh yang menimpa dedaunan namun tak sampai ke bawah karena tersangkut, dahan kayu besar jatuh sehingga menimbulkan suara gaduh, lega rasanya ketika melihat cuma dahan kayu, namun tetap saja meskipun mulut tertawa, sebisa mungkin saya pasang wajah tegar agar tak terlihat panik, "Itu peringatan awal" kata Dadan," Jadi nu nempokeunteh kai buruk?, dasar tahayul (Jadi yang memperhatikan kita dahan kayu busuk?, dasar tahayul)" Jawab Dinar sambil mendahului melangkah tanda agar kita semua berangkat lagi, "Serius Dinar manehteh, karasa ku urang aya hawa tiis jeung beurat kana sirah ( Serius Lho Dinar, aku merasakan ada hawa dingin dan terasa berat kepala)" Jawab Dadan sambil sesekali memegang kening, "Nya heeh tiis da di gunung, bener te di? (ya iyalah dingin, inikan pegunungan, iya kan di?)" Dinar menjawb lagi sambil bertanya dan menoleh ke saya, "Hahahaha" Saya hanya tertawa tak menjawabnya, dengan harapan obrolan mereka disudahi, karena jujur saya mulai kepikiran dengan ucapan Dadan, biasanya dia kalo bilang mual, pusing dan ada aura dingin tandanya ada yang ngikutinnya.
Perjalanan lancar-lancar saja namun entah karena obrolan tadi menjadikan kita semua berjalan tanpa ada yang bicara, hanya Dinar yang mulutnya tak bisa diam, kalo tidak bicara, dia pasti bernyanyi yang gak jelas apa yang dia nyanyikan, kadang bersiul dan kadang mengagetkan teman dengan menakut nakuti, kebetulan saya berada di urutan paling belakang setelah Dadan yang berada di depan saya, sambil berjalan mata saya terus memperhatikan sekeliling dan sesekali melihat punggung Dadan, jujur sebetulnya sudah malas melanjutkan perjalanan setalah tadi Dadan bilang ada yang memperhatikan, "Ngobrol atuh da wauh (Ngobrol dong kan saling kenal)" Saya berkata mencoba megubah situasi dan keadaan, "Heeh manehteh ngobrol Asep, kawas ngarerepeh wae ti tadi, cek urangge montong nggilu manehmah bisi ceureik haha (Ya, ngobrol dong Asep, dari tadi gak bicara, Aku bilang juga kamu gaak usah ikut nanti malah nangis, haha)" Dinar membalas omongan saya, seperti biasa dia paling awal kalo masalah ngobrol selalu nyaut duluan, saya dan Dinar memang agak sEdikit serasi dalam massalah becanda, dan selalu Asep atau Dadan yang kita jadikan bahan candaan, "Stttt, ulah garandeng, fokuswe leumpang soalna masih nuturkeun" (Sttt, jangan berisik, fokus aja jalan karena masih ada yang ngikutin)" Dadan yang dari tadi diam ahirnya bicara juga, "pangpung lain nu nuturkeuna di (kayu busuk bukan yaang ngikutin kita di)" Jawab Dinar sambil bertanya ke pada saya, "heeh, teuing kalangkang mereun hahaha (iya, gak tau itu bayangan kita hahaha)" jawab saya sambil tertawa, namun dalam hati saya mulai membaca beberapa suroh Al-Qur'an ayat pendek yang saya bisa.
"Saruana manehmah Dinar jeung si Didi, sabelas duabelas (Kalian berdua sama Dinar dan Didi, 11 12)" Edi berkata setelah lama dia hanya terdiam dan memimpin perjalanan, "Da dua jalema etamah biangkerok (ya emang kedua orang tersebut emang suka bikin masalah)" tambah Asep yang berkata dengan nada menyerang kepada saya dan Dinar, "Njir maneh sugan ges beak batre, geuning aya keneh ( Njir, kamu, kirain kehabisan baterai, ternyata masih ada)" Jawab saya, "Nar si Asep hirup keneh geuning? (Nar, Asep masih bernyawa ternyata)" saya menyambung ucapan dan meminta pendapat Dinar, "Sieuneun Di si etamah matak te kecet-kecet, tempo gera calanan baseuh, lain kesang etateh, tapi ngompol hahahaha (Takut dia di makanya gak bersuara, coba kamu lihat celananya basah, itu bukan keringat tapi kencing hahahaha)" Jawab Dinar seolah ada dukungan dari saya untuk memojokan Asep, langkah kita terhenti karenaa Edi yang berada paling depan seketika menghentikan langkah perjalanan, " Aya naon meng, naha ereun (ada apa meng, kenapa berhenti)" Saya bertanya kepada Edi, "Buntu jalana, dan kumaha ieu? (jalannya buntu, dan ini bagaimana?)" jawab Cimeng sambil bertanya kepada Dadan, Sebelum dandan menjawab saya dan Dinar langsung pergi kedepan dan melihat kondisi jalan yang ternyata memang buntu, di depan terhalang semak belukar, entah sudah lama tidak ada yang lewat atau memag ada pohon tumbang yang kemudian ditumbuhi banyak tanaman yang menghalangi jalan.
"Ceuk aingge ulah sompral ngomong, da maranehmah dasar biangkerok (Saya bilang jangan sembarangan ngobrol, emang kalian ya biang masalah)" Dadan berkata yang ditujukan kepada saya dan Dinar, wajahnya tampak serius mengucapkan kata kata tersebut, saya dan Dinar hanya bisa saling tatap dan kemudian tertawa "Hahahahahaha", "Di, urang di carekan euy ku si engkun (di kita dimarahi oleh engkun)" jawab Dinar setelah kami selesai tertawa, "da maranehmah di bejaanteh sok tara percaya, kalah ngaledek (emang dasar kalian kalo di kasih tahu malah meledek dan gak percaya)" Kata Dadan dengan wajah kesal, sebetulnya saya sih setengah percaya dan tidak namun karena situasinya seperti ini ya di sembunyiin aja pura pura gak percaya, meskipun hati agak takut karena dari tadi berada di posisi paling belakang, "Di, neangan tagkal nu bisa di taekan tempo jalana kamana?, ke wang norobos (Di, coba kamu cari pohon yang bisa dipanjat, lalu kami naik dan lihat kedepan jalannya menuju kemana)" Kata Edi memberikan perintah kepada saya, " Siap bos, laksanakan, hayu nar (siap bos laksanakan, ayo Dinar)" Jawab saya sambil berjalan ke arah pohon kecil disamping jalan, tak banyak cakap saya langsung manjat dan melihat situasi sekitar, namun karena posisi di banyak pohon besar ditambah semak belukar yang tebal mejadikan saya tak menemukan jalan tembusannya, "Euweuh menk euy te katempo, pinuh ku tangkal jeung rungkun (gak ada meng, tak terlihat, penuh pohon dan semak jadi gak kelihatan)" Saya berkata kepada Edi sambil turun dari pohon, "Dan, kumaha ieu? filling kamu kamana ieu jalana? ( Dan ini bagaimana? perkiraan kamu jalannya kemana?)" Edi bertanya kepada Dadan, "Noroboswe ka katuhu meng (nerobos aja ke kanan menk)" Jawab Dadan sambil menunjuk ke samping jalan.
Akhirnya tanpa bicara lagi Edi langsung mengambil pisau satu satunya yang kami bawa dan mengambil sebatang ranting pohon kecil untuk dijadikan sebagai alat pembuat jalan baru ke semak belukar, perjalanan kami agak sEdikit terhambat dan menjadi telat karena memang harus menerobos semak dan mencari jalan tembusannya, sambil memukul mukul semak belukar saya mendengar suara burung atau apa yang jelas saya berfikirnya malah ke ucapan Dadan tentang mahluk yang menikuti kita, semakin dalam kita menembus semak suasana malah semakin mencekam, entah hanya perasaan saya atau memang demikian, rasanya semakin gelisah dan tak hentinya saya membaca do'a yang saya bisa sambil terus tengok kanan kiri, "Dan ieu nyasab teu? (Dan, ini nyar ga?)" Saya berbisik kepada Dadan, "Sttt, tuturkeunwe ulah loba ngomong (Sttt, ikuti aja jangan banyak bicara)" Jawab Dadan sambil meletakan telunjuknya di bibir, saya pun terdiam dan tak bertanya lagi, karena kelihatannya dia serius agar saya tak berulah lagi, "Huuhhhh, jalan coy aya jalan (Huuhhhh, jalan ini coy ada jalan)" Tiba-tiba cimenk atau Edi berkata dengan nada senang penuh kegirangan, "Mantap pak ketu' Jawab saya dengan penuh rasa gembira, "Cemenk tea atuh (Siapa dulu dong Cimeng)" Tambah Dinar memuji Edi.
Lega rasanya sudah ada di jalan setapak yang membuat kami bisa melanjutkaan perjalanan, seperti biasa perjalanan kami diiringi nyanyian tak enak di dengar dari Dinar sambil sesekali berteriak dan ngelantur kesana kemari, namun tidak ada yang menjawab dan saya pun gak merespon ucapannnya, entah perasaan saja atau emang iya karena saya rasa tempat itu sudah saya lalui hampir 3 kali, saya masih ingat dimana tadi siang makan di bawah pohon, namun saya anggap ini hanya perasaan saja dan tak banyak cakap hanya mengikuti perjalanan saja, rasa senang menemukan kembali jalan tak berlangsung lama karena tiba tiba Edi menghentikan lagi jalanya, Aya naon deui meng (Ada apa lagi meng?)" Tanya saya kepada Edi yang berdiri sambil menatap ke sebuah pohon. {{Nyambung dulu ke paragrap pertama}} "Bukannya tadi kita berteduh dan makan di bahwa pohon ini" Dadan berkata dengan nada heran kepada kami, Dadan merupakan salahsatu teman yang ikut dalam acara naik gunung kala itu, dia merupakan seorang pribadi kalem namun kental dengan kepercayaan akan mistis. "Sok Tahu ente, ini hanya kebetulan mirif saja" Jawab Dinar sambil mengepalkan tangannya ke depan wajah Dadan dengan ekspresi menyepelekan, saya hanya terdiam sambil tertawa melihat kelakukan Dinar yang memang agak tengil, namun dalam hati saya memang berpikir bahwa pohon itu memang pernah dilalui hampir 3 kali sebelumnya, dan masih terlihat tanda jejak kaki yang sama dengan bentuk sol sepatu saya, ditambah ada sisa makan yang jelas jelas masih ingat itu adalah sisa makan saya, namun tak banyak bicara karena memang situasi agak kacau.
Semuanya terdiam sambil melihat lihat sekeliling, dan dalam hati saya sangat yakin kalo ternyata dari tadi kita hanya berputar putar di tempat yang sama tanpa ada kemajuan perjalanan, "Kumaha ieu dan? jaba geus sore euy, baheula ge tidieu ka Gunung Cakra buana teh 5 jam deui (Bagaimanaa ini dan? Mana udah sore lagi, dulu juga dari sini ke cakra buana masih 5 jam lagi)" Edi memulai pembicaraan karena memang dari tadi kita tanpa rencana berhenti malah tEdiam tanpa banyak bicara sambil memperhatikan sekeliling, "Kumaha atuh, piraku ek balik deuimah (Gimana dong, masa mau balik lagi)" Jawab Dadan sambil menatap ke atas pohon yang membuat saya semakin tambah takut, "Lain kitu dan, pan apal sorangan tadige jalana teu kapanggih, lamun balik deui bisi nguriling kawas tadi (Bukan begitu dan, tahu sendiri kan jalannya gak ketemu, kalo kita pulang lagi takutnya akan berputar seperti tadi)" Jawab Cimeng memberikan kejelasan maksud perkataannya tadi, Dadan hanya diam tak menjawab, dan semuanya tampak terdiam, bahkan Dinarpun tak ikut ngobrol saya lihat dia sedang membersihkan sepatunya yang penuh tanah. " Kumaha di? mending kumaha ieu, lanjut atawa balik? (Bagaimana di? bagusnya gimana, lanjut atau kita pulang?) Kata Edi memberikan pertanyaan kepada saya, "Nar kumaha? (Nar bagaimana)?" Jawab sya dengan memberikan pertanyaan juga kepada Dinar, "Lanjuuttttt" Jawab Dinar dengan wajah polos, Edi tak menjawab ucapan Dinar, dia langsung terduduk sambil terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Waktu menunjukan jam 16-00 dan jika mendengar ucapan Edi tadi yang katanya jarak ke Tujuan masih sekitar 5 Jam lagi, berarti kalo lancar sekalipun kita akan tiba disana sekitar pukul 21-00, itu kalau lancar, saya berfikir jika kita melanjutkan hanya akan kemalaman di jalan belum membuat tempat bernang, belum persiapan masak karena tanpa membawa alat masak, dalam hati saya lebih cenderung ingin pulang lagi namun ya karena jika kembali ke jalan sebelumnya bisa sangat lama untuk sampai di kampung, belum lagi teringat ucapan Edi yang katanya bagaimana kalo pulang lagi dan nyasar lagi, ya jadinya saya hanya terdiam saja. "Beuki loba nu nempokeun (Tambah banyak yang memperhatikan)" Tiba tiba Dadan berkata tanpa ekspresi, "Lah manehmah hayuhwe kadinya ti tadi (Lah kamu, dari tadi itu mulu yang di bicarakan)" Jawab Dinar yang dari tadi diam saja, "Maneh kudu ngarasa hanyakal tadi ngomong sompral (kamu harus merasa menyesal telah bicara kasar)" Jawab Dadan serius kepada Dinar, "Heeh hampura aing pangpung, lah naon wae nu nempokeun hampuranya, engges tah aing hanyakal, terus kumaha (Ya udah maafin saya kayu busuk, apa aja yang memperhatikan kita saaya minta maaf, udah tuh aku menyesal, terus bagaimana)?" Jawab Dinar yang kelihatannya tak serius hanya ungkapan rasa kesal aja karena Dadan terus mengungkit masalah ucapannya.
"Ayeunamah kieu we, kumaha lamun wang balik wae dan cumah dilanjutge bakal kapeutingan di jalan (Sekarang gini aja, bagaimana kalo kita pulang saja, percuma di lanjut juga karena akan kemalaman di jalan)" Ucap Edi memberikan tawaran solusi dan sekaligus merupakan keputusannya, "Terserah sih" jawab saya singkat, seolah tak peduli, namun sebenarnya dalam hati sangat mengharapkan seseorang mengajak kita semua pulang saja, "Nya bener, balikwe, tapi jalana wang neangan solokan, nuturkeun solokan kege bakal nepi ka lembur, bari nganterkeun tamu nu sejen (Ya betul, kita pulang aja, tapi kita cari selokan dan ikuti sampai ke perkampungan, sambil mengantar tamu lain)" Tambah Dadan myang tandanya mendukung ucapan Edi, "Nya hayu atuh malingpingwe kahandap neangan solokan (Ya ayo cepat kita cari lembah cari selokan)" Jawab Edi sambil berdiri tanda kita akan mulai bergerak, saya berikir ucapan Dadan tentang mengantar tamu lain, dalam hati saya berfikir nganter siapa, apa mungkin nganterin yang sedang memperhatikan kita, pastinya dia bermaksud demikian namun saya tak banyak tanya dan Dinarpun dari tadi tak banyak bicara mungkin lelah atau sama takut juga dia, ahirnya kita melanjutkan perjalanan menuju pulang dengan menuju ke posisi palng rendah Gunung dengan harapan akan menemukan selokan atau saluran air yang memang biasanya akan mengarak ke pemukiman.
Sementara kami berjalan, Asep yang jarang bicara tiba tiba tertawa "Hahhahaha", kaget bukan main dan sontak semuanya berhenti dan menatap ke wajah Asep, jarang jarang lho dia tertawa terbahak-bahak, ini lagi secara tiba tiba langsung tertawa, "Kunaon (kenapa)?" Tanya Asep kepada kami yang bengong, "Maneh kunaon ujug ujug seuri (kamu kenapa, tiba-tiba tertawa)?" Jawab Dinar heran, "Lucu we, ari dilembur sumenget ari ges kiaeu laleuleus harayang balik (Lucu aja, taadi di kampung semangat, alo udah kejadian begini semuanya ingin pulang)" Jawab Asep mengejek kepada kami, "Ah Kuya batok, suganteh aya naon aing kat reuwas (Ah dasar kura-kura, kirain ada apa, bikin kaget aja)" Jawab Dinar, lega rasanya dan perjalanan spontan berlanjut setelah mendengar jawaban Asep, dalam hati saya berfikir Asep kesurupan, karena ya aneh saja orang pendiam yang kami ketahui jarang bicara kecuali di tanya tiba-tiba tertawa, sukurlah bukan apa-apa gumam saya dalam hati, kami pun melanjutkan menuruni gunung yang kadang sangat terjal dan sesekali terhalang semak belukar, "Di tah hareupen maneh tempo (di itu lihat di depan kamu)" Kata Dinar kepada saya yang mebuat saya kaget dengan ucapannya, langsung saya melihat kedepan dan berkata "Naon (apa)" Jawab saya sambil dag dig dug, "Eta panah dina tangkal (itu tanda panah di pohon)" jawab Dinar sambil menunjuk ke sebuah panah yang menempel di pohon, "Ohhh" Jawab saya lega sambil melihat gambar panah yang menempel di pohon, kirain ada apa, kebiasaan ngagetin.
Semuanya sponan berkumpul dan melihat tanda panah dari plat kaleng yang menempel di pohon, disitu ada tulisan HIMPA yang merupakan singkatan himpunan mahasiswa pecinta alam, tanpa ada kata-kata lainnya hanya tulisan HIMPA disertai tanda panah, senang bingung dan gak jelas deh rasanya, disisi lain senang ada tanda panah menunjuk ke bawah, disisi lain bingung menuju kemana dan apa artinya panah tersebut, ya mending kalo menunjuk ke jalan pulang, kalo panahnya menunjuk ke lokasi aneh lainya kan bagaimana,, namun sEdikit lega setelah Edi berkata "Ini tanda anak HIMPA melakukan pendakian, dan biasnaya ini tanda mereka pulang dengan menympan jejak" Kata Edi dengan penuh keyakinan, namun tetap saja dalam hati masih mengganjal karena meskipun ada tanda panah, namun kami tak melihat jalan setapak yang bisa dilalui, dari tadi kita hanya menyusuri nerobos semak belukar dan bukit saja, "Nya teruswe kahandap (ya lanjutkan terus ke bawah)" Jawab Dadan kepada Edi, langsung kita semua melanjutkan pejalanan yang semakin lama saya baru sadar ternyata sudah hampir jam 18-00 dan suasana mulai tampak akan gelap, "Nar, mana tadi kalakai pines, wang duruk jieun obor (Nar, mana tadi kayu pinus, kita bakar untuk penerangan)" Kata saya kepada Dinar, Kalakai pinus adalah kayu sisa kerokan sadap getah pinus yang kami kumpulkan selama perjalanan tadi pagi, kayu pinus yang mudah terbakar dengan getahnya menjadikan kami sengaja mengumpulkannya untuk bahan memudahkan membuat peerangan jika meninap, "Aya ieu, eureun heula meng sakedeung wang nyieun obor, tereh poek euy (Berhenti dulu meng sebentar, kita buat obor karena hampir gelap)" Kata Dinar kepada Edi untuk meminta berhenti sejenak, kami pun berhenti dan menyusun kayu pinus agar nyaman dipegang untuk penerangan jalan.
Setelah semuanya memegang masing-masing obor buatan dari kayu pinus ahirnya kita melanjutkan perjalanan, saya sendiri membawa cadangan serpihan kayu pinus dalam tas agar sewaktu waktu yang dipegang habis bisa menyalakan kembali, tak terasa haripun sudah mulai gelap, sempat berpikir dalam hati andai saja bawa senter atau handpon bisa lah dijadikan alat penerangan, namun karena memang kita sepakat gak bawa bayak peralatan dan hanya akan mengandalkan alam untuk bermalam dan bertahan, ya sudahlah terima aja begini, saya penasaran ingin bertanya kepada Dadan, apakah masih ada yang mengikuti atau tidak, belum tamat saya berfikr demikian tiba tiba Dadan berkata kepada saya seolah dia tau apa yang saya pikirkan, "Saeutik dei di (SEdikit lagi di)" Kata Dadan, saya kaget karenaa sedang berfikir ingin menanyakan, tiba-tiba dia bilang sEdikit lagi, saya berfikir sEdikit lagi kita mengantar mahluk yang mengikuti atau bagaimana, lalu Dinar balik bertanya kepada Dadan "naon sauetik deui (apanya yang sEdikit lagi)?" Tanya Dinar kepada Dadan, "Saeutik deiu nepi ka solokan, soalna geus karasa taneuhna beda, jeung jukutna geus jukut cai (sEdikit lagi nyampai di selokan, kaarena sudah beda tanahnya, dan rumput tanaman sekitar sudah menandakan semakin dekat ke selokan)" Jawab Dadan, haduh lega rasanya, kirain apa sEdikit lagi, otak saya dari tadi selalu berpikir tentang mahluk yang mengikuti.
Tak lama kemudian ternyata benar yang dikatakan Dadan, ahirnya kita menemukan sebuah selokan, dari kejauhan terdengar samar-samar suara air mengalir, dalam kegelapan hutan ditemani cahaya obor darurat akhirnyaa kita samperin sumber suara air tersebut, dan iya ternyata kita berhasil menemukan sebuah selokan kecil, karena haus saya langsung mengeluarkan botol minuman yang sudah habis dan mengisinya lalu mulai minum air yang terasa sangat dingin di tenggorokan seolah meminum air dari kulkas, semuanya spontan meniru apa yang saya lakukan dan mengisi kempis air, "Nar tereh nepi nar (nar hampir sampai nar)" kata saya kepada Dinar dengan nada penuh semangat seolah beberapa langkah lagi kita sampai rumah, padahal itu baru menemukan selokan saja, entah berapa jauh jarak selokan tersebut sampai bisa ke perkampungan, entah bagaimana medan selokan yang akan kita lalui, namun saya dengan begitu juga sudah merasa sangat lega sampai tiba tiba Dadan berkata "Mariheulaan euy, tereh nepi (Mendahului, hampir sampai) Kata Dadan, Jawabannya membuat otak saya selalu berfikir ke arah mahluk halus, "Saha nu miheulaan? (siapa yang mendahului)" Tanya saya kepada Dadan, "Nyai jeung uwok nu di luhur miheulaan (Nyai dan uwok yang di atas tadi mendahului)" jawab Dadan Santay, E busyet saya langsung terdiam dan semuanya juga tak ada yang bicara, kalo Dadan bilang Nyai jeng uwok biasanya dia menyebut kepada sosok Kuntilanak dan uwok sebutan dia kepada sosok genderuo dengan bahasa dia, sumpeh bulu kuduk terasa dingin semua, dan sialnya dia berkata di posisi kita semua sedang berada di aliran sungai kecil.
"Gandeng dan ulah loba nyarita (diam dan, jangan banyak ngomong)" Kata Cimeng kepada Dadan, seolah dia melerai situasi agar kita tak takut dengan apa yang Dadan ucapkan, ya meskipun demikian tetap saja suasana hati saya jelas gak karuan, sebagai laki-laki rasanya sangat malu mengakui bahwa saya takut, sebisa mungkin wajah pucat saya sembunyikan dari hadapan teman-teman, karena memang diantara teman-teman, saya dan Dinar termasuk orang yang paling usil, jahil dan suka bikin ulah. Tak mudah rasanya harus berjalan di kegelapan yang hanya di temani cahaya remang-remang dari obor darurat, jalanan di pinggir selokan kecil yang penuh dengan tmbuhan has basah menjadikan perjalanan kami sEdikit agak lambat, belum lagi dengan terus dihinggapi rasa takut seolah terperosok ke dalam air selokanpun bayangan saya memikirkan takut ada mahluk yang menarik dari dalam air, entah saking takutnya yang saya rasakan saat itu, namun jika melihat teman-teman juga semuanya terdiam tanpa banyak bicara, ditambah perut yang sudah terasa sangat lapar, kaki mulai terasa pegal membuat perjalanan ingin segera berakhir dan segera sampai di rumah.
Selama menempuh perjalanan, kita semua lebih banyak terdiam tanpa banyak bicara satu sama lain seolah-olah semuanya sudah merasakan jenuh akibat kelamaan berjalan dengan kondisi badan sudah mulai lelah, wajar saja seharian berjalan ditambah belum makan sejak siang tadi, keheniningan malam di gunung sangat terasa, aliran air selokan ditambah suara suara binatang malam menambah suasana semakin mencekam, setelah lama berjalan menyusuri aliran sungai akhirnya kami dihentikan oleh suara gemuruh air yang sangat keras, seperti hujan atau ada ombak di laut, pokonya suara sangat keras terdengar air mengalir, di situasi seperti itu Dadan mulai berbicara "Sudah sampai, ini rumahnya" Ucapanya membuat saya kembali teringat akan mahluk yang ia ceritain tadi, namun di sisi lain saya senang jika memang iya sudah sampai di rumahnyaa yang artinya tidak akan mengikuti kita lagi, ucapan Dadan tak ada yang menaggapi, kita semua kemudian dibuat bingung dengan suara keras deras air, lalu kita putuskan untuk berhenti sejenak dan mendengarkan dengan jelas suara apa sebenarnya.
"Eta pasti curug (Itu pasti air terjun)" Dinar berkata dengan nada penuh percaya diri, "Bisa jadi, kahade ah poek bisi tigorobos murag (bisa jadi, hati-hati, jangan sampai kita terperosok jatuh)" Jawab Edi membenarkan ucapan Dinar, "Kumaha Atuh? Belahmana curugna, bisi labuh (Bagaimana dong? Air terjunnya sebelah mana, takutnya kita da yang jatuh)" Sambung saya memperingati teman teman, "Tempo kahareup fokus, itu ngolowong tandana eta gawir curug ( Coba fokus lihat kedepan, disana taak nampak ada pohon, yang tandanya air terjun disana)" Jawab Dinar, yang memang agak cerdas juga dia, meskipun kadang menyebalkan, "nyieun obor nu rada gede meh caang (buat obor yang lebih besar biar semakin terang)" Kata Edi, sambil duduk membuka tas dan mengeluarkaan serpihan kayu pinus, setelah membuat obor agak besar dan keadaaan sEdikit terang ahirnya kami melanjutkan perjalanan mengitari area air terjun agar bisa sampai di dasar, Alahamdulillah lancar tanpa kendala sampai semuanya selamat berada di dasar selokan kecil dimana air jatuh dari atas.
Saya bernafas lega, karena bisa juga sampai di bawah, di benak saya masih tetap terbayangkan ketika tadi menuruni tepi air terjun dan membayangkan rumah tua berdiri di tengah air terjun yang semuanya dipenuhi mahluk yang sedang melihat dan menertawakan kita semua, mungkin karena kebanyakan nonton film horor sehingga bayangan saya selalu begitu selama turun di tepi air terjun, suasana mula berubah "Hahaha di salamet di (hahaha di selamat kita di)" Kata Dinar sambil tertawa dan menyapa saya seatelah selama perjalanan tadi dia ta banyak bicara airnya watak aslinya keluar lagi, "Iya coy, rumah coy rumah" Jawab saya kepada Dinar, suasana mualai terasa kondusif lagi, seolah melupakan rasa lapar dan lelah dengan harapan bisa cepat sampai di rumah, ketika sedang asik becanda sambil jalan kami dikejutkan dengan suara anjing yang menggonggong dari balik pepohoan, sontak semuanya kaget namun lagi-lagi Dinar mulai bicara "pasti nu keur moro babi, salamet euy panggih jeung batur (Pasti itu yang sedang berburu babi hutan, selamat juga bisa bertemu orang orang)" kata Dinar, "Nya mudah mudahan (ya semoga saja)" jawab Edi, saya merasa sangat lega meskipun belum sampai kampung namun setidaknya bisa bertemu orang dan bisa ikut jalan pulang.
Semuanya semangat dan mencari sumber suara anjing menggnggong, rumput semak belukar yang tingi dan konsisi gelap tak menjadikan semangat kami runtuh, justru semuanya tambah semangat dengan setengah berlari kita cari sumber suara tersebut yang semakin dekat terasa, lalu kami di kejutkan dengan cahaya api dari sebuah api unggun dan tanpa banyak berfikir kita berlari ke asal api unggun berada, ternyaa benar saja disana ada sekelompok orang yang sedang duduk menghadap api unggun yang terlihat ada wadah kastrol artinya mereka sedang menanak nasi liwet, biasanya saya takut jika bertemu dengan anjing namun enatah bagaimana tiba tiba waktu itu saya tak menghirauka keeradaan anjing dan fokus menghampiri kerumunan orang tersebut, panjang lebar kita bicara sampai kita ceritakan semua kejadian tadi, Orang-orangnya sangat ramah mereka berbagi makanan dengan kita, dan menyarankan ikut dulu disini nanti pulangnya sama-sama.
Lega rasanya bisa bertemu sama orang orang di gunung, ketika saya bertanya ternyata mereka adalah Orang dari daerah Cikadu (Sebuah Kampung yan berada di Kec Pagerageung Tasikmalaya), antara senang dan kaget karena Kampung tersebut lokasinya sangat jauh dari tempat dimana kita menympan motor sebelum berangkat, namun ya tidak apa-apa yang penting bisa menuju perkampungan dan bisa menginap dimana saja yang penting sudah di perkampungan, masalah puang mengambil kendaraan kita pikirkan lagi besok. Pengalaman seharian tadi membuat saya pribadi berfikir, ternyata jangan menyepelekan hal-hal yang tidak kita percaya, kita kan percaya setelah merasakannya sendiri.
Judul : Kasarung Linglung di Gunung | CRJ Eps 36
Original Konten : https://cerita-rakyat-jelata.blogspot.com/
Cerita : Fiksi , Penulis Desoel
Next Episode.